The Battle at Lake Changjin (2021): Mengenang Pengorbanan Para Pahlawan

Table of Contents

Dalam lanskap sinema perang modern, The Battle at Lake Changjin (2021) berdiri gagah sebagai sebuah epik kolosal yang tak hanya memukau secara visual, tetapi juga menggugah emosi. Film ini mengajak kita menyelami salah satu pertempuran paling brutal dan menentukan dalam sejarah Perang Korea, yaitu Pertempuran Danau Changjin. Dengan fokus pada kisah heroik Pasukan Sukarela Rakyat Tiongkok, film ini menggambarkan pengorbanan luar biasa di tengah kondisi ekstrem yang tak terbayangkan.

Kisah dibuka dengan kembalinya Wu Qianli (Wu Jing), seorang komandan Kompi ke-7 yang berdedikasi, ke kampung halamannya di Huzhou. Ia membawa abu kakaknya, Wu Baili, yang gugur sebagai pejuang revolusi. Di sana, ia disambut oleh adik bungsunya, Wu Wanli (Jackson Yee), seorang pemuda penuh semangat yang mendambakan petualangan. Namun, ketenangan reuni mereka tak berlangsung lama. Panggilan tugas kembali datang, menyeret Qianli ke medan perang, dan meskipun dilarang, Wanli bersikeras untuk ikut, menandai awal dari sebuah perjalanan berbahaya yang akan mengubah hidup mereka selamanya.

Latar Belakang Konflik: Api Perang di Korea

Pada 15 September 1950, situasi di Korea memanas ketika Divisi Infanteri ke-7 Amerika Serikat mendarat di Incheon, di bawah komando Jenderal Douglas MacArthur. Dengan ambisi besar, MacArthur berpidato kepada pasukannya, menyatakan niat mereka untuk melintasi Paralel 38 dan menyelesaikan misi sebelum Thanksgiving, jika itu demi kebaikan Korea dan dunia. Sebuah deklarasi yang penuh percaya diri, namun mengabaikan kekuatan laten di utara.

Di Beijing, pada 4 Oktober 1950, ketegangan terasa nyata. Mao Zedong menyelenggarakan rapat penting membahas pendaratan Amerika. Malam harinya, Komandan Militer Barat-laut, Peng Dehuai, menghadap Mao. Di sana, ia bertemu dengan Mao Anying, putra Mao Zedong. Pertemuan ini menjadi titik balik. Meskipun Mao Zedong awalnya enggan berperang, ia menyadari bahwa demi masa depan dan kedamaian Tiongkok, intervensi militer adalah keniscayaan. Mereka memutuskan untuk menempatkan pasukan di Danau Changjin, Korea Utara, untuk menghadapi ancaman Amerika.

Mao Anying, terinspirasi oleh semangat perjuangan, meminta izin untuk bergabung dengan Peng Dehuai, sebuah permintaan yang akhirnya disetujui oleh ayahnya, menempatkannya di garis depan konflik yang mengerikan. Sementara itu, pada 7 Oktober 1950, pasukan Amerika terus maju, membombardir Paralel 38 dan merangsek ke utara. Mao Zedong, dalam rapat berikutnya, mengambil keputusan krusial: menyerang Amerika sebelum mereka mencapai Sungai Yalu, dan menunjuk Peng Dehuai sebagai Komandan Pasukan Sukarela Rakyat Tiongkok untuk memimpin invasi ke Korea Utara.

Strategi Perang: Menghadapi Ancaman Ganda

Di sisi lain, Jenderal MacArthur, dengan keyakinan penuh, memerintahkan pasukannya untuk terus maju hingga Sungai Yalu, perbatasan Tiongkok. Namun, intelijen di markas Pasukan Relawan Taeyu-dong mengungkapkan rencana besar Amerika: Divisi-1 Angkatan Laut pimpinan Jenderal Mayor Smith, dengan 25.000 tentara bersenjata lengkap, bersiap mendarat di Wonsan dan segera berkumpul di Danau Changjin untuk melakukan serangan dari dua arah.

Menanggapi ancaman ganda ini, Peng Dehuai menyusun strategi brilian. Ia melaporkan kepada Mao Zedong bahwa ia akan menghadapi pasukan Amerika di front Barat, sementara meminta Komisi Militer Pusat mengirimkan pasukan strategis untuk menghadang serangan di front Timur, di Danau Changjin. Mao Zedong segera memerintahkan Korps ke-9 di bawah komando Song Shilun untuk memegang teguh Danau Changjin, sebuah lokasi krusial yang akan menjadi saksi bisu salah satu pertempuran terdingin dalam sejarah.

Di Markas Korps ke-9 di Shandong, Song Shilun membakar semangat pasukannya dengan pidato patriotisme yang menggebu. Di antara mereka adalah Wu Qianli, komandan Kompi ke-7. Tak terduga, adiknya, Wu Wanli, yang sebelumnya dilarang ikut, muncul di barisan. Dengan semangat membara, Wanli resmi menjadi anggota ke-677 Kompi ke-7, siap menghadapi takdir yang menanti di medan perang. Mereka pun diberangkatkan menuju perbatasan Tiongkok-Korea menggunakan kereta api, memulai perjalanan ke neraka beku Changjin.

Perjalanan Penuh Ujian: Menuju Danau Changjin

Perjalanan Korps ke-9 dimulai dengan singgah di Stasiun Ji’an, perbatasan timur Tiongkok, untuk mengangkut pasokan penting: 20 pemancar radio dan seragam hangat. Misi utama mereka adalah mengamankan transmiter ini beserta juru sandinya ke Taeyu-dong. Namun, kehadiran pesawat pengintai Amerika di atas kepala memberikan pertanda awal akan bahaya yang menanti. Mereka bergegas berangkat, tak menyadari bahwa bencana sudah membayangi.

Saat kereta mencapai Jembatan Sungai Yalu, sebuah gangguan tak terduga — perbaikan rel — memaksa mereka berhenti. Tiba-tiba, suara pesawat membelah angkasa. Tiga pesawat pembom Amerika menghantam jembatan yang baru saja mereka lewati. Dalam kepanikan, Song Shilun mengeluarkan perintah tegas: tinggalkan kereta, ambil semua peralatan, berpencar, dan segera berkumpul di Danau Changjin. Hanya dalam hitungan detik, pesawat-pesawat itu berbalik, menjatuhkan rentetan bom, termasuk napalm, yang melahap kereta dan menelan banyak korban.

Dengan sisa-sisa kekuatan, para prajurit melanjutkan perjalanan kaki. Ancaman dari udara tak kunjung reda. Saat melintasi sungai berbatu, dua pesawat Amerika lagi melintas. Meskipun mereka berhasil bersembunyi, tembakan acak dari pesawat, yang dimaksudkan untuk mencegah senjata mereka membeku, merenggut nyawa beberapa rekan mereka. Perjalanan berlanjut melintasi Pegunungan Nangnim yang tertutup es, di mana kamuflase menjadi kunci untuk bertahan hidup dari intaian pesawat musuh.

Dekat Yunshan, suara tembakan pertempuran menggema, menarik perhatian mereka. Dari ketinggian, mereka menyaksikan rekan-rekan mereka terdesak oleh kekuatan militer Amerika yang jauh lebih modern, dilengkapi dengan tank-tank canggih. Pemandangan ini menguji tekad mereka, memicu semangat untuk membantu.

Pertempuran Yunshan: Ujian Api Pertama

Melihat rekan-rekan seperjuangan dalam bahaya, Qianli mengambil keputusan berani. Ia membagi pasukannya menjadi dua: satu bagian akan bergabung dalam pertempuran untuk membantu, sementara bagian lainnya meneruskan misi krusial pengiriman pemancar radio dan juru sandi ke Taeyu-dong. Sebuah dilema antara solidaritas dan prioritas misi yang berat.

Pasukan Qianli melancarkan serangan kejutan dari belakang, mengubah jalannya pertempuran di Yunshan. Mereka bertemu dengan Ji Chungeng dari Kompi ke-6, Resimen ke-172, yang tengah berjuang. Misi mereka menjadi jelas: menghancurkan menara komunikasi musuh untuk memutuskan hubungan antara garis depan Amerika dan markas mereka di Danau Changjin.

Di waktu yang sama, pasukan kedua yang bertugas mengamankan transmiter melihat konvoi bala bantuan Amerika bergerak menuju medan perang. Tanpa ragu, mereka memutuskan untuk melakukan penyergapan. Dengan serangan mortir yang presisi, beberapa kendaraan musuh berhasil diledakkan, menciptakan kekacauan. Setelah melancarkan serangan mendadak, mereka mundur ke atas bukit, memancing pasukan Amerika untuk mengejar. Taktik cerdas ini berhasil: saat musuh terpancing dan tiba di lokasi yang telah ditentukan, mereka dihujani granat. Amerika terpaksa mundur, namun diadang oleh pasukan Tiongkok yang telah mengadang dari belakang.

Pertempuran sengit di Yunshan berakhir dengan kemenangan pahit bagi pasukan Qianli. Menara komunikasi musuh berhasil dihancurkan, memutus jalur vital mereka. Setelah istirahat sejenak, mereka melanjutkan perjalanan penuh tantangan menuju Taeyu-dong, semakin dekat dengan takdir mereka.

Tragedi Taeyu-dong & Serangan Umum yang Tak Terhindarkan

Setibanya di Taeyu-dong, pasukan Qianli disambut oleh seorang perwira tinggi. Di tengah perawatan luka dan istirahat yang singkat, mereka bertemu dengan Mao Anying, putra Mao Zedong, yang berada di sana. Anying menyampaikan kabar krusial: Pusat Komando telah memerintahkan serangan umum besar-besaran untuk merebut Danau Changjin, mengerahkan semua pasukan dari front Timur dan Barat. Kompi ke-7, termasuk Qianli dan Wanli, diperintahkan menuju dataran tinggi 110 di Sinhung-ni, di jantung wilayah Danau Changjin. Tanpa menunda, mereka bergegas berangkat, menuju kancah pertempuran yang lebih besar.

Di Markas Korps ke-9 di Chengfang-Dong, garis depan, suhu telah merosot drastis hingga -31°C. Song Shilun diliputi kekhawatiran mendalam akan kondisi pasukannya yang bergerak menuju Danau Changjin. Musuh mereka bukan hanya Amerika Serikat dengan persenjataan modernnya, tetapi juga cuaca dingin ekstrem yang jauh lebih mematikan.

Tak lama kemudian, markas Taeyu-dong terdeteksi oleh Amerika. Pesawat-pesawat pembom segera dikirim untuk menghancurkan tempat itu. Peng Dehuai berhasil berlindung di bunker. Namun, dalam momen heroik yang tragis, Mao Anying kembali ke markas untuk mengambil peta yang tertinggal, tepat saat bom-bom Amerika dijatuhkan. Anying gugur dalam tugas, sebuah pengorbanan yang mendalam dan memilukan.

Kematian Anying mengguncang Peng Dehuai. Dalam kemarahan dan kesedihan yang mendalam, ia memberikan penghormatan terakhir. Dengan tekad membaja, ia memerintahkan wakilnya untuk mempersiapkan serangan umum ke Danau Changjin dalam dua hari, pada 27 November 1950. Telepon segera tersambung ke Song Shilun, dengan perintah tegas untuk menyerang habis-habisan, tidak memberi ampun pada musuh.

Klimaks: Pertempuran Danau Changjin yang Membeku

Di markas Chengfang-Dong, Song Shilun mengumpulkan para komandan korps untuk merancang rencana dan taktik serangan yang akan menjadi sejarah. Strategi mereka sangat ambisius: Satuan ke-20 akan berpencar, mengepung pasukan Amerika di Koto-ri, Yudam-ni, dan Hagaru-ri. Sementara itu, Satuan ke-27 akan melancarkan serangan langsung ke Sinhung-ni, dengan tujuan akhir menghancurkan Bandara Hagaru-ri setelah berhasil menguasai Sinhung-ni. Amerika, meskipun mulai merasakan pergerakan pasukan Tiongkok, tak menyangka akan dikepung sedemikian cepat dan efektif.

Pada 27 November 1950, badai itu tiba. Satuan ke-27 menyerbu Sinhung-ni. Pertempuran sengit meletus, menjadi neraka di tengah salju. Dengan persenjataan yang jauh tertinggal dibandingkan teknologi militer Amerika, para prajurit Tiongkok bertempur dengan keberanian luar biasa, mengorbankan segalanya. Korban berjatuhan, namun semangat mereka tak padam. Akhirnya, dengan tekad baja, Sinhung-ni berhasil direbut.

Kemenangan di Sinhung-ni membuka jalan bagi penyerangan ke Bandara Hagaru-ri. Dalam menghadapi gelombang serangan yang tak henti, pasukan Amerika terpaksa mundur besar-besaran menuju Jembatan Sumun. Meskipun Kompi ke-3 Divisi ke-58 Pasukan Relawan mengalami kekalahan pahit di Dataran Tinggi 1701, tekanan keseluruhan yang diberikan oleh pasukan Tiongkok sangat masif, memaksa musuh untuk menarik diri.

Akhir Pertempuran: Kemenangan Pahit dan Warisan Sejarah

Beberapa hari berikutnya, pasukan Amerika melanjutkan penarikan diri mereka ke Dermaga Hungnam. Selama perjalanan mundur, pemandangan memilukan terungkap: ratusan mayat prajurit Tiongkok yang membeku, tak bergerak dalam posisi menyergap, menjadi saksi bisu betapa brutalnya cuaca dingin dalam pertempuran ini. Mereka rela menjadi "patung es" demi menghambat laju musuh, sebuah pengorbanan yang tak terlupakan.

Pada 24 Desember 1950, dalam sebuah operasi evakuasi besar-besaran, 105.000 tentara Amerika dari Satuan ke-10 berhasil dievakuasi dari Pelabuhan Hungnam. Sehari setelahnya, Korps ke-9 Pasukan Sukarela Rakyat Tiongkok berhasil menduduki pelabuhan tersebut, menandai berakhirnya salah satu kampanye militer terberat dalam sejarah Perang Korea.

Refleksi dari Medan Perang

The Battle at Lake Changjin dengan apik menggambarkan bagaimana Pasukan Marinir Satuan ke-10 Amerika, yang terkenal tangguh dari medan perang Siberia dan Perang Dunia II, dibuat kocar-kacir oleh tekad dan keberanian luar biasa Pasukan Sukarela Rakyat Tiongkok. Ini adalah kisah tentang bagaimana semangat dan pengorbanan bisa mengalahkan keunggulan teknologi dan logistik, di tengah kondisi alam yang paling ekstrem sekalipun.

Di akhir film, sebuah credit-scene menampilkan nasib tragis Kompi ke-7, termasuk Wu Qianli dan pasukannya. Mereka diperintahkan untuk menyerang tentara Amerika yang mundur ke Jembatan Sumun. Namun, dalam pertempuran terakhir yang tak seimbang, mereka semua gugur, membayar harga tertinggi untuk negara mereka. Kisah mereka adalah pengingat akan beratnya harga sebuah kemenangan dan pengorbanan personal di tengah keganasan perang.



Info Film:
Tahun Rilis: 2021

Posting Komentar